YOGYAKARTA (kabarkota.com) - Pengasuh Pondok Pesantren Waria Alfatah
Yogyakarta, Shinta Ratri menyebutkan banyak waria yang terancam
kehilangan hak politiknya pada Pilpres 9 Juli mendatang karena rata-rata
tidak mempunyai Kartu Tanda Penduduk (KTP).
"Dari pengalaman Pileg kemarin, hanya sekitar 30 - 35 persen waria yang
bisa menggunakan hak pilihnya," ungkap dia. Padahal, jumlah waria di DIY
saat ini diperkirakan mencapai 300-an orang.
Selain hak politik yang tidak terpenuhi, rata-rata waria di Yogyakarta
juga tidak mendapatkan hak yang sama di dunia kerja. "Para waria umumnya
bekerja sebagai pengamen, di salon-salon, dan pekerja seks komersil,"
sebut Shinta.
Mereka menekuni profesi tersebut, anggap dia, karena tidak memiliki skill dan bekal pendidikan formal yang memadai.
Oleh karenanya, waria 54 tahun ini berharap, agar siapa pun presiden
yang terpilih nantinya akan memberikan perhatian khusus kepada kelompok
minoritas ini, khususnya dalam pemenuhan hak sebagai warga negara pada
umumnya.
Sebelumnya, pada 2 Juli kemarin, dalam debat tim sukses capres-cawapres
yang digelar di Kampus Universitas Atmajaya Yogyakarta, tim dari kedua
pasangan sepakat berkomitmen untuk memberikan perlindungan hak-hak warga
negara bagi kaum transgender.
Tim pemenangan Prabowo Hatta DIY, Anang Sabtoni menganggap bahwa
bagaimana pun mereka adalah bagian dari warga negara yang membutuhkan
perlindungan. Hanya saja, bagaimana bentuk perlindungannya, itu masih
mempertimbangkan penghargaan terhadap nilai-nilai agama dan norma yang
berlaku di masyarakat.
"Kami harus memberi mereka ruang untuk aksesabilitas," tegas Anang.
Senada dengan Anang, Tim Pemenangan Jokowi - JK yang diwakili oleh Esti
Wijayati juga berpendapat bahwa pasangan capres nomer urut 2 sejak awal
sudah berkomitmen untuk mrmberikan perlindungan bagi mereka, seperti hak
pendidikan, dan kesehatan, serta perlindungan dari kekerasan seksual.
Salah satu bentuk konkritnya, sambung Esti, berupa perumusan Rancangan Undang-Undang anti Kekerasan Seksual. (mon/tri)