468x60_id

Hanya 35 Persen Waria Bisa Gunakan Hak Pilih

 
YOGYAKARTA (kabarkota.com) - Pengasuh Pondok Pesantren Waria Alfatah Yogyakarta, Shinta Ratri menyebutkan banyak waria yang terancam kehilangan hak politiknya pada Pilpres 9 Juli mendatang karena rata-rata tidak mempunyai Kartu Tanda Penduduk (KTP).

"Dari pengalaman Pileg kemarin, hanya sekitar 30 - 35 persen waria yang bisa menggunakan hak pilihnya," ungkap dia. Padahal, jumlah waria di DIY saat ini diperkirakan mencapai 300-an orang.

Selain hak politik yang tidak terpenuhi, rata-rata waria di Yogyakarta juga tidak mendapatkan hak yang sama di dunia kerja. "Para waria umumnya bekerja sebagai pengamen, di salon-salon, dan pekerja seks komersil," sebut Shinta.

Mereka menekuni profesi tersebut, anggap dia, karena tidak memiliki skill dan bekal pendidikan formal yang memadai.

Oleh karenanya, waria 54 tahun ini berharap, agar siapa pun presiden yang terpilih nantinya akan memberikan perhatian khusus kepada kelompok minoritas ini, khususnya dalam pemenuhan hak sebagai warga negara pada umumnya.

Sebelumnya, pada 2 Juli kemarin, dalam debat tim sukses capres-cawapres yang digelar di Kampus Universitas Atmajaya Yogyakarta, tim dari kedua pasangan sepakat berkomitmen untuk memberikan perlindungan hak-hak warga negara bagi kaum transgender.

Tim pemenangan Prabowo Hatta DIY, Anang Sabtoni menganggap bahwa bagaimana pun mereka adalah bagian dari warga negara yang membutuhkan perlindungan. Hanya saja, bagaimana bentuk perlindungannya, itu masih  mempertimbangkan penghargaan terhadap nilai-nilai agama dan norma yang berlaku di masyarakat.

"Kami harus memberi mereka ruang untuk aksesabilitas," tegas Anang.

Senada dengan Anang, Tim Pemenangan Jokowi - JK yang diwakili oleh Esti Wijayati juga berpendapat bahwa pasangan capres nomer urut 2 sejak awal sudah berkomitmen untuk mrmberikan perlindungan bagi mereka, seperti hak pendidikan, dan kesehatan, serta perlindungan dari kekerasan seksual.

Salah satu bentuk konkritnya, sambung Esti, berupa perumusan Rancangan Undang-Undang anti Kekerasan Seksual. (mon/tri)