468x60_id

Keadilan Gender: Islam Berpihak Pada LGBT?

Islam, sebagaimana agama-agama lain yang ada di bumi memiliki tawaran “menggiurkan” untuk menunaikan harapan hidup yang lebih baik dan adil bagi pemeluknya, dengan wujud. Maka, tak ayal jika manusia (dengan nada mempertanyakan) juga “menagih” kebaikan dan keadilan tawaran itu, dengan kepastian. Sebab itu, uji konsistensi tawaran dalam Islam mesti dibuktikan, dan secara sederhana bisa dibaca lewat, seberapa besar keberpihakan Islam dalam memberikan keadilan terhadap manusia yang memeluk dan meyakininya.
Kalau kemudian saya sederhanakan kembali; semakin besar Islam memberikan keadilan terhadap pemeluknya, maka, semakin besar pula keyakinan pemeluk terhadapnya, bukan tak mungkin sehingga Islam terus kokoh sebagai agama abadi yang dipeluk manusia, yang selalu membawa prinsip keadilan. Dalam konteks Islam, tawaran “menggiurkan” untuk pemeluknya itu—dalam menyamuderai derasnya lautan hidup—yakni; rahmatan lil’alamin, sebuah tawaran berupa rahmat (kasih sayang) sebagai modal dalam menegakkan keadilan hidup. Keadilan yang tidak hanya diperuntukkan bagi pemeluk Islam belaka, melainkan bagi seluruh alam semesta, termasuk dan khusus di dalamnya mengakomodir keadilan bagi keberadaan perempuan dan komunitas Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT), yang sering—untuk enggan mengatakan selalu—mendapat perlakuan diskriminatif dan nir-keadilan.
Apalah mau dikata, seberat tawarannya, seberat pula dalam ikhtiar pengejawantahannya, atau bahkan kadang, masih jauh bertolak belakang dari titik ideal, apa yang diharapkan. Realitas kehidupan sosial yang teramat beragam dan kompleks, benar memang terkadang tidak mudah satu sinergi. Konsepsi Islam tentang keadilan semesta alam, ternyata tidak melulu berbanding lurus dengan pemahaman dan sikap muslimnya (pemeluk Islam). Dengan demikian, Islam boleh saja menganggap dirinya; “ya’lu wala yu’la ‘alaih”, tetapi tidak melulu bagi muslimnya. Dengan kata lain, Islam merupakan agama yang percaya diri dan konsisten, betapapun muslimnya belum tentu demikian. Maka menjadi rasional, tatkala Islam ramah dan adil terhadap siapapun, termasuk terhadap perempuan dan komunitas LGBT, sekali lagi, meskipun muslimnya belum tentu demikian.
Ya, sebagaimana problem yang akan saya bidik dalam tulisan sederhana ini, adalah kebelum-mampuan muslim (sekali lagi bukan Islamnya) dalam mengakomodir pemenuhan prinsip keadilannya bagi perempuan dan komunitas LGBT. Pertama, fakta diskriminatif terhadap perempuan. Ada satu ungkapan bernada timpang yang patut direnungkan dalam diskursus tentang perempuan, bahwa; “perempuan adalah sahabat terbaik agama, namun agama bukanlah sahabat terbaik bagi perempuan”.
Mempertimbangkan ungkapan ini semakin menemukan titik signifikansinya, tatkala fakta diskriminatif terhadap perempuan atas nama agama, marak menggejala tak terelakkan di tengah masyarakat. Atas nama agama (Islam), tidak jarang pihak yang secara sebelah mata memandang perempuan sebagai manusia yang; “separo harga” dari laki-laki, “konco wingking” dari laki-laki, “nomor dua” dari laki-laki, dan seterusnya. Penyematan subordinatif seperti ini sering kali mengemuka tidak hanya di kalangan kalangan awam, melainkan juga di kalangan cerdik-agamawan.
Kedua, fakta diskriminatif terhadap komunitas LGBT. Benar. Di tengah masyarakat yang memegang teguh pada heteronormavitas (norma-norma orientasi seksual hetero), komunitas LGBT tak hanya mengalami pengucilan dan sumpah serapah sebagai komunitas manusia yang telah melanggar norma keumuman masyarakat, tetapi juga telah distempel negatif sebagai kelompok manusia yang telah melanggar ketentuan agama (Tuhan).
Implikasi dari pelabelan timpang seperti ini telah berlangsung berabad lama, hingga kurun waktu dewasa ini. Manusia arus utama dengan heteronormavitasnya, seakan gelap mata dengan prinsip-prinsip universal kemanusiaan. Dinding-dinding ketabuan dan dangkalnya pengetahuan telah mengelabui mata dan sikapnya terhadap komunitas LGBT. Padahal, tentu mereka (komunitas LGBT) tidak melulu seperti apa yang dibayangkan cara pandang negatifnya.
Mencermati persoalan-persoalan tersebut di atas, melalui tulisan sederhana ini, saya hendak mencoba memberikan cara pandang dan interpretasi ulang, terhadap pelbagai stereotipe yang mendiskriminasikan itu. Diawali dengan lebih intim mengenal titik bahas antara gender dan seks dalam segi perbedaan dan pemaknaannya. Dilanjut dengan upaya saya dalam mendobrak dinding-dinding ketabuan tentang seksualitas, yang sering—untuk enggan mengatakan selalu—disudutkan secara tertutup dan negatif, sehingga berubah menjadi satu hal yang terbuka dan positif. Berikutnya, bagaimana kemudian, bahwa Islam inheren dengan keadilan bagi perempuan dan komunitas LGBT.
Mengenal Seks dan Gender
Problem pertama dan utama, yang sederhana tetapi beimplikasi besar, yakni dalam menyoal perbedaan gender dan seks, adalah tentang ketidak-cermatan arus-utama dalam hal memakna dan mendudukkan antara terma gender dan seks. Galibnya, orang menyama artikan antara terma gender dan seks. Padahal, keduanya sama sekali berbeda makna dan arti. Oleh karena berbeda, cakupan dan jangkauannya pun berbeda.
Nasaruddin Umar (1999) misalnya, memandang bahwa, gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial-budaya. Sementara itu, sex secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi. Studi gender lebih menekankan perkembangan aspek maskulinitas (masculinity/rujuliyah) atau feminitas(feminity/nisa’iyyah) seseorang, sedangkan studi seks menekankan perkembangan pada aspek biologis dan komposisi kimia dalam tubuh laki-laki (malaness/dzukurah)dan perempuan (females/unutsah).
Saya pun berpandangan tidak jauh berbeda dengan di atas, bahwa urgen sekali mendahulukan perbedaan antara seks (jenis kelamin biologis) dan gender (jenis kelamin sosial). Dimensi seks (jenis kelamin biologis) meliput seputar hal-hal yang berkenaan dengan faktor biologis hormonal dan patologis yang menimbulkan adanya laki-laki dan perempuan. Laki-laki ditandai dengan beberapa identitas fisik seperti; penis, testis, sperma dan lainnya, sedangkan perempuan ditandai dengan beberapa identitas seperti; vagina, payudara, ovum, rahim, dan lainnya. Berbeda dengan dimensi gender, ia meliput seputar sifat, peran, tanggung jawab, fungsi, hak, dan perilaku yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang disebabkan oleh konstruksi sosial-budaya masyarakat. Beberapa identitas yang melekat akibat dimensi gender ini, laki-laki biasanya identik dengan sifat-sifat maskulin; perkasa, rasional, tegas, dan lain-lain. Sedangkan perempuan identik dengan sifat-sifat feminimnya; lemah lembut, penyayang, pemalu, dan lain-lain.
Dengan uraian demikian, sampailah bahwa seks adalah anugerah Tuhan yang bersifat kodrati, yang tak dikonstruk sosial-budaya masyarakat. Sedangkan gender, adalah sebaliknya, ia adalah bentukan budaya sosial-masyarakat, yang dapat berubah dari satu tempat ke tempat lain, dari satu waktu ke waktu yang lain. Buktinya, gender merupakan bentukan sosial-budaya masyarakat, adalah tidak sedikit laki-laki yang justru sangat lekat dengan identitas feministasnya—penakut, pemalu, dan lainnya–, dan perempuan sangat lekat dengan identitas maskulinitasnya—perkasa, berani, tegas, dan lainnya.
Nah, berkenaan dengan studi keadilan gender, objektivitas dalam memaknai gender dan seks mutlak dibutuhkan. Diskursus ini jika dihadapkan dengan studi tentang perempuan amatlah berguna, bahwa, dalam perspektif gender, perempuan memiliki hak yang sama dan setara sebagaimana laki-laki, entah itu di muka domestik maupun publik. Begitupun halnya dengan keberadaan komunitas LGBT, studi pemaknaan objektif tentang gender dan seks, dapat memberikan penerangan kepada kita, betapa mereka (komunitas LGBT) memiliki hak yang sama dan setara sebagai mana manusia dengan orientasi seksual hetero. Tak ada penyimpangan yang dilakukan komunitas LGBT dalam perspektif gender, selama mereka bersama kita saling mengedepankan prinsip-prinsip kamanusiaan universal; kebebasan, keadilan, kesetaraan, dan lain sebagainya.
Mendobrak Dinding Ketabuan tentang Seksualitas
Ada yang luput di sebagian besar masyarakat—tidak hanya menjangkit kalangan awam, melainkan juga kalangan cerdik-agamawan—dalam memandang anugerah seksualitas. Teramat sering terma seksualitas, menjadi terma yang, ketika orang membincangkannya terkesan negatif, atau dalam bahasa klasiknya; pamali. Pamali, dalam masyarakat akar rumput dimaknai sebagai sebuah realitas, yang tidak mesti dibicarakan, dengan keyakinan; yang nanti di kemudian hari akan mengerti dengan sendirinya, selain karena akan berakibat negatif, juga menjaga tata sopan santun, karenanya lebih utama diam, dan tidak mengulasnya.
Paradigma pamali seperti inilah, yang menurut saya, mesti di bicarakan ulang, disegarkan, dan di maknai secara baru. Konsep pamali dalam konteks ini pula yang sebenarnya telah, mengebiri potensi daya kritisisme masyarakat. Konsep pamali ini biasanya merupakan generalisasi untuk menyederhanakan dan mengolektifkan kondisi masyarakat yang kompleks. Di satu sisi, selama implikasi yang ditimbulkan maslahat, saya rasa tak ada masalah, namun pada nyatanya di sisi yang berbeda, paradigma dan konsep pamali ini telah hilang dan tercerabut nilai relevansi dan signifikansinya.
Tak ada jalan lain, kecuali kita bersama, gegap-gempita, bahu membahu, bersama untuk mendobrak dinding-dinding ketabuan ini. Guna mencerdaskan wawasan dan sikap masyarakat dari pelbagai bentuk ketabuan yang telah membatu kuat. Menurut Musdah Mulia (2010), seksualitas mencakup aspek yang sangat luas, yaitu pembicaraan tentang jenis kelamin biologis, identitas gender (jenis kelamin sosial), orientasi seksual, dan perilaku seksual. Sehingga dengan begitu, dari setiap pembicaraan tentang seksualitas; jenis kelamin biologis, jenis kelamin sosial, orientasi seksual, dan perilaku seksual, mempunyai pengertian dan cakupan yang berbeda. Jenis kelamin biologis ini yang kemudian melahirkan pola laki-laki dan perempuan, sedangkan berkaitan dengan identitas gender (jenis kelamin sosial) terbagi menjadi tiga pola; perempuan dengan identitas feminimnya, laki-laki dengan identitas maskulinnya, dan transgender dengan identitas keduanya. Dan, transgender sendiri itu yang kemudian melahirkan; laki-laki keperempuanan (banci atau waria) dan perempuan kelaki-lakian.
Mendasarkan seksualitas sebagaimana pengertian di atas, studi tentang perempuan dan komunitas LGBT adalah bagian terpenting di dalamnya. Pertama, dalam pespektif gender, perempuan tidak lagi di pandang sebagai objek, melainkan sebagai subjek sebagaimana laki-laki. Perspektif patriarkhi yang mengakar kuat dalam budaya masyarakat menjadi penyumbang utama dalam kekeliruan memandang perempuan (hanya) sebagai objek seksualitas. Dalam budaya patriarkhi, perempuan, hanya diilustrasikan sebagai wujud manusia (yang hanya) berupa kecantikan, kemolekan, dan segala hal yang berbau seks-biologis semata. Perempuan, dalam perspektif gender, menyetara bersamaan dengan potensi maskulinitas sebagaimana dipunya laki-laki, ia sama-sama disyukuri (didayagunakan) seperti mensyukuri anugerah fisik perempuan. Cara pandang seperti ini berimplikasi, bahwa perempuan tidak hanya memiliki potensi “cantik fisik”, tetapi juga berpotensi “cantik sosial”.
Kedua, dalam perspektif gender, komunitas LGBT tidak lagi distereotipe, disumpah serapah, dan dimarjinalkan, hanya karena memiliki orientasi seksual yang berbeda dengan arus utama. Perspektif patriarkhi, kembali menjadi pemicu memburuknya citra arus utama, terhadap komunitas LGBT. Dalam budaya patriarkhi, seksualitas selalu dipahami dengan konteks maskulinitas. Fatalnya lagi, hal demikian berbuntut tidak hanya distereotipe dengan cara pandang maskulinitas, tetapi juga dikonstruk dengan cara pandang orientasi seksual hetero, sembari menafikan cara pandang homo atau lainnya, dengan mutlak. Jadilah, selama berabad lamanya, bangunan seksualitas di masyarakat dihegemoni oleh orientasi seksual hetero (heteronormavitas). Padahal, orientasi seksual adalah sebuah anugerah yang alamiah(sunnatullah), ia merupakan kapasitas dan potensi seseorang—sebagaimana fitrahnya—yang memiliki orientasi tertentu berhubungan dengan ketertarikan emosi, rasa cinta, sayang, dan hubungan seksual. Berbeda dengan perilaku seksual, yang merupakan buatan manusia, yang bisa menyimpang atau tidak.
Melihat akutnya cara pandang, pemahaman, dan sikap masyarakat arus utama, mendalami persoalan yang menimpa perempuan dan komunitas LGBT dengan perspektif yang adil gender, menjadi kemestian. Melalui banyak cara, satu diantara yang penting, adalah melakukan re-instrospeksi terhadap cara pandang, pemahaman, dan penyikapan kita, dengan lebih objektif, ilmiah, dan tidak emosional.
Islam dan Keadilan untuk Perempuan
Sejak Islam turun, dari sifatnya yang melangit ke sifatnya yang membumi, adalah dalam menegakkan misi utamanya dalam memberantas segala bentuk ketidakadilan dan ketidaksetaraan, di pelbagai dimensi kehidupan masyarakat. Satu fenomena yang menjadi agenda besar Islam, melalui Nabi Muhammad Saw, adalah dalam memberikan pembebasan untuk keadilan dan kesetaraan terhadap perempuan. Advokasi Nabi Saw, terhadap perempuan bukan sekedar isapan jempol belaka. Semula, tatkala kelahiran (bayi) perempuan dianggap sebagai sebuah musibah, lalu kemudian dibunuh hidup-hidup, sejak Islam membumi, realitasnya berubah. Perempuan, tatkala lahir dihargai dan dihormati oleh Islam, dengan akikah, sebagaimana lahirnya (bayi) laki-laki pada galibnya. Tak hanya itu, keberpihakan Islam terhadap perempuan, juga dibuktikan dengan mendapatnya hak waris, dan pelbagai penghargaan lainnya.
Itu pulalah, yang telah menjadikan Umar bin Khatab, insaf. Satu pernyataan kata insafnya; “Pada masa Jahiliyyah kami sama sekali tidak menganggap penting kaum perempuan. Begitu Islam datang dan Tuhan menyebut mereka, kami baru sadar bahwa ternyata mereka juga memiliki hak atas kami”. Ya, begitulah, pengakuannya.
Melalui banyak ayat, dalam al-Qur’an, Islam sesungguhnya begitu memuliakan kedudukan perempuan. Beberapa diantaranya seperti termaktub dalam QS. ali-‘Imran [3]: 195 tentang proses penciptaan manusia (laki-laki dan perempuan) yang sama-sama berasal dari jiwa (nafs) yang satu. Dalam QS. al-Baqarah [2]: 228 tentang kesetaraan dan keseimbangan antara laki-laki (suami) dan perempuan (istri) dalam menjalin kehidupan secara baik. Juga dalam QS. al-Taubah [9]: 71 tentang peranannya yang sama dalam kegiatan-kegiatan sosial. Atau juga seperti termaktub dalam QS. al-Nahl [16]: 97 tentang potensi laki-laki dan perempuan sebagai pemimpin, perempuan (istri) diberikan keleluasaan dalam memilih pendapat yang menurutnya benar, betapapun berbeda dengan laki-laki (suami), dalam QS. al-Tahrim [66]: 11. Begitupun, ayat dalam QS. al-Taubah [9]: 71 dimana Tuhan betul-betul menghimbau agar perempuan berani untuk tampil menyampaikan kebenaran, dan masih banyak ayat lainnya.
Meski demikian, fakta sosiologis, memang rentan mengalami distorsi. Fakta diskrminatif terhadap perempuan banyak merebak. Meningkatnya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), tindak perkosaan dan pelecehan seksual, perdagangan perempuan, domestifikasi perempuan, dan lain sebagainya mesti di gempur dengan segera. Tak ada jalan lain, kecuali dengan kembali memahami secara objektif teks-teks keagamaan. Interpretasi ulang, membenahi cara pandang, membebaskan perempuan, adalah beberapa cara yang efektif digulirkan. Sehingga, sinergislah antara tuntunan nilai-nilai agama dan kemanusiaan serta tuntutan harmonisasi kehidupan sosial masyarakat yang adil dan setara gender.
Islam dan Keadilan untuk LGBT
Sebagaimana dalam cita-cita keadilannya terhadap perempuan, Islam, amat akomodatif terhadap komunitas LGBT. Meskipun al-Qur’an hanya menyebut dua jenis identitas gender; laki-laki dan perempuan, tetapi kemudian fikih—sebagai salah satu bentuk analisis Islam terhadap pelbagai fenomena sosial—sedikitnya menyebut empat identitas, yakni laki-laki, perempuan, waria, dan mukhanits (secara biologis laki-laki, namun menyenderungkan diri sebagai perempuan, dan menghendaki pergantian kelamin).
Hal demikian ini, sejak awal harus dipahami sebagai sebuah bentuk anugerah keragaman Tuhan. Keragaman yang tak hanya dipahami secara fisik, yang tampak dipelbagai bidang ekonomi, politik, sosial, agama dan lainnya, tetapi juga termasuk keragaman orientasi seksual yang tak terelakkan. Kalau kita membaca sumber-sumber literatur keislaman, memang tidak begitu banyak dijumpai, ulama-ulama yang secara khsusus membedah persoalan ini. Namun demikian, hal ini juga tidak serta merta dijadikan legitimasi untuk menyumpah serapah komunitas LGBT.
Biasanya, perbincangan mengenai komunitas LGBT akan cepat dinisbahkan dengan kaum Nabi Luth As, yang dengan pedih dan mengenaskan ditimpakan azab oleh Tuhan atas perilaku amoral dan biadabnya. Yang luput di sebagian banyak umat Islam, dalam memahami ayat ini—beberapa ayat dalam QS. al-Naml [27]: 54-58; QS. al-‘Araf [7]: 80-81; Kemudian, QS. Hud [11]: 77-83; QS. al-Syu’ara [26]: 160-175—adalah ketidakcermatannya dalam meninterpretasi dan mengidentifikasi secara jeli, substansi ayat-ayat ini.
Kalau saya tarik pada substansinya, beberapa ayat itu, sebenarnya berbicara tentang kaum Nabi Luth As, yang secara eksplisit menegaskan umatnya telah berperilaku terlarang, dalam mengekspresikan perilaku seksual (bukan orientasi seksual), yang ditandai dengan adanya unsur kekerasan, pemaksaan, aniaya, dan lainnya. Jelas, bahwa ayat-ayat tersebut, sama sekali tak membahas orientasi seksual sebagai bentuk pelanggaran. Ini terbukti jika azab pedih itu pun, menimpa istri Nabi Lusth As, yang tak melakukan sodomi atau lesbian. Dengan begitu, kembali saya tegaskan, bahwa, beberapa sitiran ayat itu mengecam perilaku seksual yang menyimpang, bukan mengecam orientasi seksual. Sebab itu, bersikap akomodatif dan humanis terhadap komunitas LGBT, jelas, merupakan ajaran keadilan dalam Islam.
Penutup
Demikian, konsistensi Islam tentang rahmat keadilannya, dalam mengemban misi;rahmatan lil’alamin. Terbukti, bahwa Islam amat akomodatif terhadap siapapun, tak pandang bulu, termasuk pada khususnya terhadap perempuan dan komunitas LGBT.Semoga, sekarang dan ke depan, pemenuhan hak tentang keadilan gender terhadap perempuan dan LGBT, semakin baik dan meningkat. Amin. Wallahu ‘alam bi al-Shawab. (kompasiana).
Oleh: Mamang M. Haerudin

1 komentar:

Bukankah,manusia itu jangan hidup mencari kebenaran mnurut pandangannya sendiri?
Kesia-siaan kalau manusia kompromi terhadap beberapa penyimpangan & dosa dan kemudian "dibenar2kan" ke dalam konteks agama. Kalau "pemaksaan" konsep penyimpangan dibaurkan dengan ajaran agama agar penyimpangan dianggap benar, berarti manusia hidup lebih mementingkan agama,daripada mementingkan apa yng diingini Allah...padahal kita tahu hal-hal yang tidak sesuai dgn kehendak Allah,bererti melawan arus Allah...dan hal yang melawan arus Allah itu berarti dosa/"pembangkangan".
Kalau hal miris ini terjadi, berarti mengarahkan manusia untuk lebih berhak penuh memegang kendali kemana arah agama berjalan dibanding Allah sendiri. Padahal Allah-lah yang menciptakan manusia untuk menyembah dan beribadah kepadaNya. Dosa penyimpangan itu hendaknya ditobatkan, bukan untuk dikompromikan dan dibaurkan secara "seenaknya" ke dalam agama. Dosa dan penyimpangan itu kan bentuk tipu muslihat setan untuk menjauhkan manusia dari Allah. Bertobat itu adalah proses pendewasaan rohani/proses kembali ke jalan Allah pasti melalui jalan yang menyakitkan, namun tujuannya lebih mulia yaitu supaya diterima Allah kembali. Proses itu tidak mudah, tapi bukankah proses yang tidak mudah itu setimpal atau bahkan mungkin belum seberapa jika dibandingkan dengan memperoleh surga Allah. Jadi bukan dengan mengkompromikan dosa/penyimpangan agar selaras dengan ajaran agama karena sungkan atau takut pada manusia...

Ada yang mengatakan,manusia harus hidup maju dengan mendengarkan hati nuraninya. Tidak membohongi diri sendiri dan menjadi diri sendiri itu lebih baik. Tapi hati-hati dengan langkah tersebut, tidak semua kata hati itu baik bagi Allah. Kita harus bijak, karena ada suara hati yang dipengaruhi setan juga. Namanya saja setan, ulung dalam menipu muslihat agar seolah-olah manusia memilih jalan yang sudah benar(setan kan raja dosa) .Misal, (tidak bermaksud menyudutkan salah satu kaum LGBT,hanya mengambil contoh permisalan) seorang pria sadar dalam hatinya dia berDNA wanita. dan karena dia tidak mau membohongi diri, dia menjadi diri sendiri dengan merubah identitas gendernya. Nah, apakah jalan hatinya ini sesuai yang diingini oleh Allah? Allah menciptakan konsep hanya pria dan wanita yang ada, dan ini konsepNya yang awal dan akan selalu begitu. Allah tidak akan mengkoreksi perubahan aturanNya sendiri karena Allah jelas Tuhan Yang Maha Kuasa, yang Maha Tahu, yang mengerti kemana arah aturanNya berjalan.
Pikiran saya ini bukan untuk menyudutkan atau mendiskreditkan LGBT, karena saya tahu kalangan LGBT pun butuh pengakuan masyarakat agar bisa hidup mendapat hak yang sama. Tapi tolong justru ubah miskonsepsi itu, kenapa mengharapkan kemakluman dari sesama manusia kalau ternyata hal itu bukan dari tujuan penciptaan manusia oleh Allah, atau ternyata membuat marah Allah. Coba siapa manusia yang bisa mengetahui hati Allah dan rencanaNya? karena manusia itu hakekatnya adalah ciptaanNya, manusia itu tidak sempurna tidak mungkin menyamai Allah yang sempurna. Kita yang harus mendengarkan Allah.

Saya sebagai pribadi tidak pernah membenci LGBT, bahkan memberi bantuan LGBT yang butuh bantuan. Tetapi langkah yang benar adalah mengasihi kaum tersebut dengan tulus dan mengarahkan mereka kepada ajaran Allah yang sesuai kehendakNya, bukan kebenaran menurut manusia. Manusia bisa bertobat dari penyimpangannya,apabila benar2 dekat dan ingin dekat dengan Allah. Karena kedekatan manusia yang sejati terhadapNya, Allah akan dengan welas asihNya memberikan jalan pertolongan yang tak pernah diduga manusia agar manusia jauh dari musibah neraka, tempat setan yang menanti manusia yang tertipu muslihat agar jadi "teman baru" yang sama-sama dihukum di hari penghakimanNya.

NB: saya bukan pribadi sempurna, hanya berpendapat, mencoba utk memberi penerangan hati dengan kebaikan tulus, bukan untuk sok mengajari dan bukan utk menyudutkan LGBT dgn kebencian.

Posting Komentar