468x60_id

Perjuangan eksistensi kaum waria

a. Napak tilas
Dalam situs resmi Gaya Nusantara (GN) (www.gayanusantara.or.id), diketahui sekitar tahun ± 1968 istilah wadam pertama kali diciptakan sebagai pengganti yang lebih positif bagi istilah banci atau bencong. Namun, sekitar tahun ± 1980, istilah wadam kemudian harus diganti menjadi waria karena keberatan sebagian pemimpin Islam. Keberatan ini dikarenakan kata wadam mengandung nama seorang nabi, yakni Adam a.s.Di tahun berikutnya, yakni pada tahun 1969 organisasi wadam pertama, Himpunan Wadam Djakarta (HIWAD) berdiri, antara lain difasilitasi oleh Gubernur DKI Jakarta Raya ketika itu, yakni Ali Sadikin.

Di New York, Amerika Serikat, pada Juni tahun 1969 berlangsung Huru-Hara Stonewall, ketika kaum waria dan gay melawan represi polisi yang khususnya terjadi pada sebuah bar bernama Stonewall Inn. Peristiwa ini dianggap permulaan pergerakan gay dan waria yang terbuka dan militan di Barat. Hingga sampai hari ini, gerakan perlawanan tersebut senantiasa dirayakan dengan pawai dan acara-acara lain. Tidak hanya di Amerika Serikat, perayaan tersebut juga dilakukan di beberapa Negara termasuk di Israel, Amerika Latin, Jepang, Pilipina, India dan di Indonesia.

Pada tanggal 22 Juli 1996 diketahui salah satu partai peserta Pemilu di Indonesia, yakni Partai Rakyat Demokratik (PRD) menjadi partai pertama dalam sejarah Indonesia yang mencantumkan "hak hak homoseksual dan transeksual" dalam manifestonya. Manifesto ini sekaligus menegaskan keberpihakan PRD terhadap kelompok minoritas yang memang menjadi spirit dan khittah gerakan partai ini, yakni gerakan kiri (marxisme) yang ketika itu masih dianggap haram bagi orde baru.

Hingga akhirnya, setelah berakhirnya kejayaan Orde Baru dengan pucuk pimpinan Negara dan pemerintahannya adalah Soeharto, maka pada bulan Juni 1999 Gay Pride dapat dirayakan di Surabaya, bekerja sama antara GN, Persatuan Waria Kota Surabaya (PERWAKOS) dan Pusat Kebudayaan Prancis (CCCL). Lalu kemudian Oktober 1999 pada International Congress on AIDS in Asia and the Pacific (ICAAP) ke-5 di Kuala Lumpur, Malaysia, dibentuk jaringan lesbian, gay, biseks, waria, interseks dan queer (LGBTIQ) se-Asia/Pasifik bernama Asia/Pacific Rainbow (APR). Gaya Nusantara (GN) ikut menjadi pendiri jaringan ini. Jaringan ini, sekali lagi diharapkan membawa perubahan besar bagi keberlangsungan eksistensi kaum LGBTIQ di Asia, terkhusus di Indonesia.

b. Waria; “kaum yang terlupakan”
Sejarah belum pernah mencatat dengan pasti kapan dan dimana kebudayaan waria mulai muncul. Hal ini yang mungkin saja mengindikasikan bahwa kaum waria belum masuk ke dalam lingkungan peradaban “manusia normal” karena stigmatisasi tertentu yang negatif. Budaya waria sendiri tidak lahir begitu saja akibat modernisasi dimana banyak mengakibatkan kelainan-kelainan seksual, seperti homoseks yang dianggap sebagai modernisasi dan sebagainya.

Al-Qur’an menyebutkan adanya kaum nabi Luth yang disebut ”Liwath” yang artinya ”senggama melalui dubur” (Puspitosari dan Pujileksono, 2005 : 17). Namun tidak dapat dikatakan bahwa apakah pada zaman nabi Luth tadi, kaum yang dilaknat tersebut adalah waria ataukah merupakan kelompok lain yang memang memiliki orientasi seksual sejenis (homoseksual) seperti halnya kaum gay. Atau bisa jadi, alasan dilaknatnya kaum nabi Luth juga bukan karena kelompok homoseksual, melainkan kelompok-kelompok lain yang ketika itu melakukan sikap permusuhan pada utusan-utusan Allah: memusuhi, mengusir, dan mengobarkan peperangan, dan hal ini pula yang sedang berlangsung dalam kehidupan Muhammad SAW ketika berada di kota Mekkah.

Sejarah bangsa Yunani tercacat adanya kaum waria pada abad ke XVII yaitu munculnya beberapa waria kelas elite seperti Raja Henry III dari Prancis, Abbe de Choicy Duta Besar Prancis di Siam, serta Gubernur New York tahun 1702, Lord Cornbury (Koeswinarno, 2004 : 24). Diasumsikan fenomena tersebut adalah fenomena waria, sebab ciri dan performa yang ditunjukkan sangat dekat dengan gejala waria menurut definisi yang ada, yakni berdandan layaknya perempuan dan menyukai sesama laki-laki.

Dukun pria di Turco-Mongol di Gurun Siberia pada umumnya berpakaian perempuan. Mereka biasanya memiliki kesaktian dan ditakuti orang. Dukun-dukun semacam ini dapat juga dijumpai di negara Malaysia, kepulauan Sulawesi, Patagona, kepulauan Aleut dan beberapa suku Indian di Amerika Serikat. Oman terkenal dengan xanith. Konon, xanith diperbolehkan untuk melindungi kaum perempuan dari berbagai bahaya dan pekerjaan sehari-hari. Menurut sejarah, di Oman pelacuran perempuan sangat jarang dan seandainya ada harganya sangat mahal, xanith kemudian beralih fungsi sebagai pelacur dengan harga yang terjangkau oleh kelas ekonomi bawah sekalipun. Busana yang dipakai xanith mengandung dua fungsi yaitu sebagai budaya dan sebagai daya tarik seksual ketika mereka berfungsi sebagai pelacur. Berbagai catatan tersebut, tidak jelas apakah mereka benar-benar kaum waria yang fenomena psikologisnya sebagaimana gejala transseksual atau sekedar gejala transvestet (Muthiah, 2007:14) .

Di Indonesia dikenal dengan baik fenomena warok yang senantiasa memelihara gemblak, yakni pemuda usia belasan tahun sebagai piaraan Sang Warok, yang berfungsi sebagai pelepas hasrat seksualnya. Kemudian di dalam kesenian tradisional Jawa Timur, ludruk, di mana setiap tokoh perempuan senantiasa diperankan oleh laki laki. Perkembangan terakhir juga menunjukkan bahwa dunia waria menjadi ekspoitasi media massa besar-besaran, karena karena kelucuan perilaku yang ditampilkan, misalnya, Group Lenong Rumpi, Dorce, Tata Dado, Aming dan sebagainya.

Menengok berbagai masyarakat adat, kita temukan juga hubungan seksual dan/atau emosional antarlelaki, baik di antara mereka yang sebaya maupun yang beda usia (transgenerasi). Apakah di Aceh di kalangan ulëëbalang (umumnya dengan budak belian dari Nias) maupun di lingkungan perdagangan di pantai timur dan barat di masa lampau, di Minangkabau (induak jawi—anak jawi) dalam konteks kehidupan di surau, di Ponorogo (warok, warokan, gemblakan) dalam konteks ilmu kanuragan dan kesenian reyog, di pesantren-pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur (mairilan, amrot-amrotan) serta Madura (laq-dalaqan) dalam konteks kehidupan nyantri/nyantre, maupun di beberapa budaya Melanesia dalam konteks ritus inisiasi anak laki-laki, hubungan antarlelaki, dengan berbagai pemaknaan sosial-budaya, memang ada, termasuk hubungan-hubungan “biasa” (artinya, tidak dalam konteks ritual tertentu) seperti di Jawa dan Bali, umpamanya. Yang signifikan adalah bahwa hubungan itu hampir senantiasa terjadi bersamaan dengan maupun disusul oleh pernikahan atau hubungan dengan perempuan atau kadang-kadang juga individu semacam waria (Oetomo, 2006 : 4).

Di Indonesia, budaya waria memang tidak secara khusus seperti di Oman, Turco-Mongol, atau tempat-tempat lain (Nadia, 2005 : 53). Meskipun demikian, kita dapat menemukannya, seperti misalnya penjelasan diatas pada masyarakat Ponorogo Jawa Timur yang berkecimpung dalam dunia seni Warok. Para Warok di daerah ini terkenal sangat sakti yang menjadikan mereka kebal terhadap senjata tajam. Agar dapat menjalankan ilmunya dengan sempurna maka ada berbagai pengorbanan dan persyaratan yang harus dijalaninya. Setiap Warok Ponorogo dapat dipastikan memiliki gemblakan (laki-laki usia 9-17) yang bertugas untuk membantu pekerjaan rumah hingga memberikan kebutuhan seksual kepada sang Warok.

Kebutuhan seksual ini membuat para warok selalu memilih gemblakan laki-laki muda yang berwajah cantik dan berkulit halus. Hal tersebut dilakukan karena adanya larangan untuk menggauli perempuan sebelum ilmu yang dipelajari dapat dikuasai, dan setelah ilmu mereka mencapai tingkat kematangan mereka pun diperbolehkan berhubungan seks dengan perempuan yang dinikahinya. Perlakuan warok terhadap para gemblak inilah yang dapat menjerumuskan perilaku seksual remaja tersebut menjadi seorang waria karena warok seringkali memperlakukan gemblak-nya sebagai seorang perempuan baik dalam perilaku, berpakaian dan dandanannya.

Kaum waria pada zaman kerajaan Jawa terdahulu termasuk dalam kelompok yang justru memiliki daya tarik tersendiri karena kelainan yang dideritanya, sehingga mereka tidak disingkirkan namun menjadi sebuah momentum dunia kegaiban. Kesenian gandrung (Banyuwangi) ditarikan oleh bocah laki-laki berusia 10-12 tahun yang berpakaian perempuan. Di Kalimantan, Suku Dayak Ngaju mengenal pendeta perantara (medium-priest) yang mengenakan pakaian lawan jenis. Basir adalah seorang laki-laki, namun dalam segala hal dia berperilaku sebagai perempuan, termasuk dalam orientasi seksual. Transvestisme dan homoseksualitas sang Basir tampaknya erat terkait dengan sakralitas (kesucian) fungsinya dalam ritus-ritus (Oetomo, 2004:18).

Di Sulawesi Selatan, suatu institusi yang tidak sakral adalah bajasa (penyaru) pada suku Toraja pamona (bare’e). Identitas laki-laki pada suku ini di masa lampau adalah ikut bertempur. Laki-laki karena suatu hal (usia tua, cacat fisik) dan tidak dapat pergi bertempur kemudian diberi jalan dengan berpakaian perempuan sebagai seorang bajasa. Sebagian bajasa, diketahui dapat pada akhirnya menjadi tadu mburake, yaitu pendeta (shaman) pada suku toraja ini.

Selain itu, suku Bugis-Makasar pun terdapat fenomena serupa yaitu Bissu (laki-laki yang diberi tugas menjaga pusaka). Dan seorang Bissu diharapkan mengenakan pakaian perempuan, dilarang berkomunikasi dan dilarang berhubungan badan dengan perempuan. Hal ini dilakukan demi sakralitas pusaka-pusaka yang dijaganya. Bissu merupakan jejak budaya Bugis pra Islam yang masih tersisa hingga kini. Fungsi Bissu pada zaman kerajaan adalah sebagai pendeta agama bugis kuno pra-Islam. Kata “Bissu” itu sendiri berasal dari “bessi”, yang berarti bersih. Waria yang menjadi bissu dianggap suci atau tidak kotor. Disebut demikian karena Bissu tidak berpayudara dan tidak mengalami menstruasi. Selain waria, ada pula “Bissu Perempuan”, yaitu mereka yang menjadi bissu setelah mengalami masa menopause. Panggilan spiritual menjadi bissu yang kemudian mengangkat status sosial dan derajat mereka, paling tidak dalam konteks kekinian mereka “bukan sembarang waria, tetapi waria sakti”.

Salah satu kelebihan komunitas bissu adalah kenyataan bahwa mereka memiliki bahasa sendiri untuk berkomunikasi dengan para dewata, leluhurnya dan sesamanya. Bahasa itu kadang disebutnya sebagai Basa Ugi Galigo atau Basa torilangi’(bahasa orang langit). Bahasa inilah yang kadang bercampur dengan bahasa bugis pasaran dalam komunikasi sehari-hari. Memang, keberadaan bissu sebagai benang merah kesinambungan adat dan tradisi bugis kuno yang masih eksis di tanah bugis hingga dewasa ini. Perbedaan bissu dengan waria kebanyakan adalah ilmu, bahasa dan kesaktian yang dimilikinya, selain cara berpenampilan dan berpakaian tentunya. Setiap waria yang telah menjadi bissu diyakini memiliki kemampuan untuk melakukan kontak dengan masa lalu dan juga masa ke depan. Menurut Puang Saidi, untuk menjadi bissu harus ada panggilan spiritual dan hal ini tidak bisa direkayasa, apalagi sampai berbohong. Sebagai Puang Matowa, dirinya akan mendapat isyarat akan adanya waria yang akan datang magang ke rumahnya. (www.kompas.com).

Bissu dalam upacara adat tidaklah berdiri sendiri, melainkan menjadi bagian dari budaya atau tradisi yang berlaku bagi masyarakat pendukungnya. Itulah sebabnya, Bissu kadang juga memposisikan diri sebagai sanro’ atau pinati, perias pengantin, peramal (membaca tanda-tanda kehidupan seseorang yang datang kepadanya), atau sebagai traditional event organizer bagi kegiatan seni budaya pemerintah atau masyarakat yang punya hajatan pada saat sekarang ini.

c. Waria, riwayatmu kini
Sebagai sebuah realitas sosial kontemporer, waria tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan yang ada di sulawesi selatan. Hal ini nampak sekali dari uraian Boellstorff (2005:55) mengutip cerita dan kisah epik I La Galigo (jilid I) bahwa memang waria (sakti) dalam hal ini bissu, telah ada sejak zaman pra-islam yakni pada masa kehidupan Tomanurung dan tokoh Sawerigading. Setidaknya hal tersebut pula diceritakan dalam catatan tertulis orang barat oleh kunjungan antonio de Palva ke sulawesi pada tahun 1545. Mereka muncul dalam sumber-sumber dari tahun 1600-an, demikian juga tulisan tentang perjalanan dari James Brooke pada tahun 1840 (Andaya, 2004:41; Bileys, 1995:117; Pelras, 1996:56 dalam Boelstroff, 2005:55). Dengan demikian, penjelasan tersebut dengan sendirinya menolak anggapan bahwa waria merupakan produk dari modernisasi ataupun gloibalisasi yang seringkali beberapa pihak menyebutkannya secara serampangan.

Waria sakti (bissu) yang umumnya kini merupakan waria laki-laki (Hamzah, 1978:56; Pelras, 1996:165-167 dalam Boellstorff, 2005:55) dalam budaya bugis silam (pra-Islam) memiliki kedudukan terhormat sebagai penyambung lidah raja dan rakyat, penghubung antara raja dengan para dewa (Tuhan), serta bertugas menjaga benda harta pusaka kerajaan (Makkulau, 2008:17,20-21,23-32). Hal ini dikarenakan kepercayaan masyarakat bahwa bissu memiliki kekuatan mistis dan mereka terbebas dari hal-hal yang dapat mengganggu kesucian mereka (Makkulau, 2008:21), seperti menahan diri dari seks (Boelstorff, 2005:55) serta menjaga tutur kata, sikap dan perbuatannya (Makkulau, 2008:29). Mereka juga dipercaya mampu melakukan kontak dengan masa lalu dan juga masa depan serta berkomunikasi dengan dunia atas dengan menggunakan bahasa torilangi (Makkulau, 2008:.29) sehingga dalam menentukan hari baik untuk melaksanakan sesuatu hal, sudah seharusnya meminta pertimbangan dari para bissu.

Graham (2003) mengemukakan bahwa menurut sejarah, para bissu terlibat dalam profesi seumur hidup untuk menjaga pusaka kerajaan dan menyelenggarakan ritual-ritual bagi para bangsawan, khususnya peristiwa kehidupan seperti kelahiran dan perkawinan (siklus hidup), demikian juga ritual untuk kesuburan sawah. Salah satu ritual bissu yang paling terkenal berupa keadaan tak ssadarkan diri yang dibuktikan melalui maggiri, dimana para bissu berupaya untuk menusuk diri mereka sendiri dengan keris upacara; bila tubuh para bissu betul-betul menjadi milik dewata, keris-keris tersebut tidak akan bisa masuk (dalam Boelsstorff, 55-56).

Namun, setelah agama Islam masuk ke kerajaan-kerajaan Bugis, peranan bissu tersebut nyaris hilang karena upacara-upacara tidak dibenarkan lagi. Ritual-ritual bissu dianggap sebagai kegiatan syirik dan bertentangan dengan semangat penerapan syariah yang dimotori oleh kerajaan Gowa. Peranan bissu semakin pupus ketika pemerintahan kerajaan beralih ke pemerintahan republik, seiring memudarnya lembaga-lembaga adat (Makkulau, 2008:27). Kondisi tersebut diperparah dengan bangkitnya gerakan fundamentalis Islam Kahar Muzakkar di sulawesi selatan pada pertengahan tahun 1960-an. Salah satu elemen dalam gerakan ini, “Operasi Tobat” bertujuan pada praktek-praktek yang dianggap tidak islami, khususnya praktek bissu. Ribuan perlengkapan ritual bissu dibakar atau ditenggelamkan kelaut. Tidak sedikit bissu yang dibunuh. Yang dibiarkan hidup digunduli lalu dipaksa menjadi laki-laki tulen (Boelsstorff, 2005:55, Makkulau, 2008:27).

Sejak akhir tahun 1990-an, telah ada upaya untuk revitalisasi praktek bissu. Sebagian hal ini merefleksikan adanya pemujaan kembali adat di seluruh nusantara akibat lengsernya Soeharto pada tahun 1998, didukung oleh kebijakan pemerintahan baru terhadap otonomi daerah. Namun demikian, ternyata upaya-upaya revitalisasi praktek bissu ini gagal. Upacara-upacara bissu secara radikal telah disederhanakan (misalnya upacara agraria mappalili di kawasan Segeri yang dulu berlangsung selama 40 hari, kini diselenggarakan hanya dalam satu malam), dan banyak upacara kini dipertunjukkan hanya untuk wisatawan, dan sawah-sawah yang dulu diberikan kepada komunitas bissu untuk penghasilan telah di ambil dan dijual (lathief, 2004:69,87-89,83-85 dalam Boelsstorff, 2005:56). Senada dengan hal tersebut, Makkulau (2008:28-29) dalam bukunya menulis bahwa saat ini tidak sedikit anak muda dan calabai (waria yang belum/tidak sampai pada tingkatan bissu) menggunakan kesempatan upacara adat Mappalili sebagai ajang main-main. Lebih memprihatinkan lagi, beberapa kabupaten telah mengebiri fungsi dan peran komunitas bissu menjadi sekedar sebuah sanggar seni tari saja.

d. Simpulan
Dari uraian di atas dapat di pahami bahwa posisi subyek waria memang telah ada dan di kenal sejak dulu. Bahwa waria bisa ditemukan di mana saja di nusantara, dan hingga saat ini waria cenderung di asosiasikan tidak dengan ritual namun dengan hiburan budaya populer, penjualan komoditas kecil, dan pekerjaan seks (Boelsstorff, 2005:74). Padahal, kita menemukan fakta sejarah bahwa komunitas waria pada mulanya memiliki tempat terhormat di sisi masyarakat. Namun hari ini segala hal berubah dan tidak lagi sama seperti yang di ceritakan oleh sejarah. Padahal, kita menemukan fakta sejarah bahwa komunitas waria pada mulanya memiliki tempat terhormat di sisi masyarakat.

Secara kultural berbagai fenomena seperti waria dengan segala macam bentuk dan ekspresi budayanya masing-masing di dalam kebudayaan dunia maupun Nusantara menunjukkan bahwa ada pengakuan atas keberadaan dan kehadiran kaum waria, sehingga mereka mendapat tempat di berbagai ruang sosial. Akan tetapi di dalam praktik kehidupan sehari hari tidak semua ruang sosial memberikan tempat bagi kehidupan seorang waria. Dapat dikatakan, hari ini segala hal berubah dan tidak lagi sama seperti yang di ceritakan oleh sejarah. Dan pada akhirnya, waktu jualah yang akan menentukan sampai kapan komunitas waria bisa bertahan di tengah arus deras peradaban yang terus berubah.

0 komentar:

Posting Komentar